Carbon steel

Posted: July 21, 2010 in Corrosion measurements

Selecting

ketidakpastian uji korosi

Posted: March 28, 2010 in Corrosion

Prediksi kePrediksi kecepatan korosi dengan menggunakan metode kehilangan berat atau prinsip elektrokimia mempunyai ketidak pastaian yang tinggi. Alat uji korosi dengan prinsip elektro kimia (linear polarisasi resistance/LPR), misalnya, telah dihitung bahwa faktor kesalahan yang timbul dari kesalahan mutlak saja (yaitu kesalahan diturunkan dari rumus yang diguankan) dapat mencapai 27% [1]. Jika kesalahan ini dijimlah dengan kesalahan akibat percobaan dan manusia (assumsi 5%) akan menjadi 32 %. Selanjutnya pengasumsian bahwa uji LPR yang hanya menelan waktu 5 menit, biasanya dirgresikan untuk mendapatkan hasil dengan satuan mm/tahun. Ini mengakibatkan error lagi yang tidak sedikit. Kecepatan korosi biasanya meningkat sebagai fungsi logaritmik, sehingga untuk mendapatkan satuan mm/tahun tidak dapat secara langsung dikalikan dengan faktor konversi linier begitu saja. Tetapi cara ini sudah umum sekali dilakukan, dan jika ini terjadi akan menambah error lagi sebanyak sekitar 10%. Jika diaplikasikan di lapangan kadang kondisi berubah, material tidak seperti yang kita asumsikan, tenaga kerja yang merakit instalasi tidak sesuai, pengelasan tidak sempurna, faktor cuaca yang berubah, jika semua kesalahan ini menyumbang error sebanyak 10 % maka sekarang total error perhitungan korosi menjadi 52%. Ketidak pastian uji korosi oleh Yuli Panca Asmara Error lebih dari 50% artinya benar dan salah bernilai 50:50. Dengan demikian hasil ini sama saja dengan tidak melakukan penelitian, sebab dengan tebak-tebak saja kemungkinan benar dan salah kita juga 50:50. Jika begini apakah kita masih menggunakan prinsip elektrokimia untuk uji korosi?? cepatan korosi dengan menggunakan metode kehilangan berat atau prinsip elektrokimia mempunyai ketidak pastaian yang tinggi. Alat uji korosi dengan prinsip elektro kimia (linear polarisasi resistance/LPR), misalnya, telah dihitung bahwa faktor kesalahan yang timbul dari kesalahan mutlak saja (yaitu kesalahan diturunkan dari rumus yang diguankan) dapat mencapai 27% [1]. Jika kesalahan ini dijimlah dengan kesalahan akibat percobaan dan manusia (assumsi 5%) akan menjadi 32 %. Selanjutnya pengasumsian bahwa uji LPR yang hanya menelan waktu 5 menit, biasanya dirgresikan untuk mendapatkan hasil dengan satuan mm/tahun. Ini mengakibatkan error lagi yang tidak sedikit. Kecepatan korosi biasanya meningkat sebagai fungsi logaritmik, sehingga untuk mendapatkan satuan mm/tahun tidak dapat secara langsung dikalikan dengan faktor konversi linier begitu saja. Tetapi cara ini sudah umum sekali dilakukan, dan jika ini terjadi akan menambah error lagi sebanyak sekitar 10%. Jika diaplikasikan di lapangan kadang kondisi berubah, material tidak seperti yang kita asumsikan, tenaga kerja yang merakit instalasi tidak sesuai, pengelasan tidak sempurna, faktor cuaca yang berubah, jika semua kesalahan ini menyumbang error sebanyak 10 % maka sekarang total error perhitungan korosi menjadi 52%. Ketidak pastian uji korosi oleh Yuli Panca Asmara Error lebih dari 50% artinya benar dan salah bernilai 50:50. Dengan demikian hasil ini sama saja dengan tidak melakukan penelitian, sebab dengan tebak-tebak saja kemungkinan benar dan salah kita juga 50:50. Jika begini apakah kita masih menggunakan prinsip elektrokimia untuk uji korosi?? kk

Cara termudah untuk mengamati korosi di atmosfer adalah dengan metode kupon. Sebelum melaksanakan percobaan korosi di atmosfer data-data kondisi lingkungan pada suatu lokasi harus dimiliki secara keseluruhan (misalnya rata-rata time of wetness, temperatur, konsentrasi  SOdan konsentrasi kloida).

Material yang diuji dalam percobaan ini adalah Al, Cu, Zn, Fe. Selain itu diamati pula pengaruh tegangan sisa dengan cara menekan permukaan logam dengan tangan.  Percobaan korosi atmosfer dibuat didalam wadah yang dikondisikan pada berbagai kondisi, yaitu:  kondisi satu dengan udara kering pada temperature udara luar (T ≈ 20 – 25°C) RH ≈ (< 50%). Kondisi kedua adalah udara basah berisi uap air (T ≈ 20 25°C) dan  RH ≈ jenuh (>100%). Selanjutnya dibuat kondisi atmosfer ketiga yaitu udara basah dengan kandungan uap air + SO2,  T ≈ 20 – 25°C RH ≈ jenuh (>100%)

Dari percobaan diperoleh bahwa pada kondisi atmosfer pertama (udara kering, 200C, RH<50) selama satu hari tidak ada efek lingkungan semua permukaan kelihatan sedikit pucat. Keadaan ini disebapkan karena tidak adanya serangan yang disebabkan oleh lapisan garam. Pada kondisi  2 terlihat ada uap air yang disebabkan oleh menurunnya tekanan dan temperature. Pada permukaan material terlihat sedikit pucat, ada lapisan garam yang tersisa akibat selaput oksida pada permukaan Cu dan Fe. Pada permukaan Zn terlihat munculnya tanda akibat Tekanan. Pada logam Al tidak ada serangan korosi. Korosi yang terjadi pada kondisi atmosfer yang ketiga (udara basah: uap air + (SO2)) tercatat semua permukaan logam terkorosi. Material logam mengalami korosi yang bervariasi, diantaranya; Cu: terdapat produk korosi berwarna merah gelap dan biru kehijau-hijauan. Zn: produk korosi berwarna putih kehitam-hitaman. Fe: semua permukaan terjadi korosi berwarna coklat-gelap. Pada permukaan yang mengalami tegangan sisa didapat warna kuning kemerah-merahan dengan sejumlah cacat-cacat pada daerah tertentu. Tegangan sisa yangterjadi pada Al dicirikan dengan terjadinya korosi local pada permukaan tertentu yang dikelilingi oleh titik-titik berwarna putih kehijau-hijauan. Lokasi tegangan sisa juga dikelilingi oleh produk orosi yang berwarna hijau.

Selain gas CO2 komponen penyebab prilaku korosi di lingkungan minyak dan gas bumi adalah gas H2S. Gas adalah unsur terpenting yang dapat mengubah pola prilaku korosi di lingkungan yang mengandung gas CO2. Keberadaan gas H2S dapat ditandai dengan bau yang khas. Gas ini menyerang material dan menimbulkan jenis korosi pitting. Gas H2S dipercaya dihasilkan dari metabolisme mikroba dalam minyak bumi yang ikut terangkut saat pengeboran. Pada jumlah yang kecil gas H2S dapat menyebabkan korosi, tetapi pada jumlah yang relative tinggi (lebih dari 15 ppm), korosi dapat berkurang akibat pembentgukan lapisan FeS di permukaan besi. Lapisan FeS menyelimuoti permukaan besi dan memberikan hambatan terhadap berlangsungnya reaksi korosi. Di lingkungan yang banyak mengandung gas CO2, pertumbuhan lapisan sulfide besi yang berinteraksi dengan lapisan karbida besi tidak dapat dihindari. Pemodelan dengan melibatkan interaksi kedua lapisan yangdihasilkan dari perpaduan karbida/sulfide besi perlu diketahui untuk dapat memprediksi prilaku korosi secara akurat. Dengan maksud meningkatkan akurasi perhitungan diperlukan studi mendalam tentang prilaku thermodinamika dan kinetika gas CO2/H2S selama berlangusngnya reaksi korosi. Penalitian ini dilakukan dengan cara melakukan pemodelan dan studi literatur, yang selanjutnya dengan menggunakan software Ohio Model diramalkan dampak pertumbuhan lapisan tehadap kecepatan korosi. Prilaku korosi dihubungkan dengan kualitas lapisan yang dibentuk gas CO2/H2S untuk dibandigkan dengan efek tunggal masing-masing gas.

The quality of inhibitor, generally, represents the ability of inhibitor on retardation of corrosion processes. When inhibitor is added in small quantities to a normally corrosive environment, it will reduce the metal corrosion [1]. The protective nature of the inhibitors depends on many factors [2]: interaction between inhibitor and substrate, incorporation of the inhibitor in the surface layer, chemical reactions, electrode potential, concentration of the inhibitor, pH, dissolved oxygen content, temperature, hydrodynamic conditions, properties of the corroding surface, presence of aggressive anions, etc.

These experiments were aimed in order to understand the effects of inhibitor produced by AMTECH Hydrosafe 3in1® on steel corrosion under conditions: saturated CO2, 5% NaCl, pH 3.8, 65oC, and 3 feet/second of flow. Electrochemical (LPR) and weight loss techniques were used to calculate the mild steel corrosion rate. From the experiment, it has been recorded that inhibitor efficiency will increase as inhibitor concentration increases. Using inhibitor concentration from 350 ppm to 500 ppm, inhibitor efficiency will increase in the range of 95% to 98%. Solution contains no-inhibitor corroded mild steel with 5.8 mm/y of corrosion rate, while the corrosion rate will decrease to the 0.3 mm/y and 0.12 mm/y when 350 ppm and 500 ppm of inhibitor concentration was injected respectively.

Kegiatan sektor minyak dan gas melibatkan penggunaan fasilitas produksi dan distribusi. Agar dapat diolah menjadi produk-produknya, minyak bumi dari sumur diangkut ke kilang menggunakan rangkaian sistem perpipaan dan lewat pipa pula minyak didistribusikan. Selama perjalanan, aliran gas dan minyak melewati rangkaian perpipaan dengan topographi dan bentuk yang berbeda [1]. Akibatnya, campuran dalam minyak (air dan gas) mengalami perubahan phisik (regime). Regime aliran inilah yang akan menentukan pola korosi. Besar kecepatan korosi bervariasi sesuai perubahan kondisi aliran perpipaan yang terjadi sepanjang lokasi perpipaan. Untuk menghindari keruskan fatal akibat korosi, diperlukan data perhitungan korosi yang akan dapat memprediksi perbaikan dan penggantian komponen pada waktu yang tepat. Dari data lapangan dapat dihitung laju korosi dan selanjutnya dapat direncanakan design pipa yang aman dalam pengoperasiannya. Penelitian dilakukan untuk menghitung hubungan antara kecepatan aliran minyak dan kecepatan korosi. Parameter yang menyertai perubahan kecepatan dan dilibatkan dalam perhitungan ialah gaya gesek, tekanan parsial CO2. Selain itu, pengaruh yang lain seperti: kekasaran permukaan, jenis material, jumlah slug juga diperhitungkan. Perhitungan menggunakan program software perhitungan korosi Norsok [2] dan ECE [3]. Selanjutnya data perhitungan dibandingkan dengan data-data dari literatur untuk validasi. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa, pengaruh kecepatan, tegangan gesek, tekanan parsial CO2 berbading secara exponential dengan kecepatan korosi. Pada kecepatan yang rendah perubahan kecepatan korosi jauh lebih lambat dibanding dengan perubahan kecepatan korosi pada kecepatan aliran yang tinggi. Jika dibandingkan efek interaksi antara kecepatan aliran dan tekanan parsial CO2 didapat bahwa efek tekanan parsial CO2 adalah faktor yang lebih dominan dalam menentukan kecepatan korosi.

Dalam system Katodik proteksi perubahan arus mempunyai dampak yang significant terhadap sifat kimia dan fisika selimut beton. Dengan demikian parameter arus proteksi memegang peranan penting dalam menjaga keberhasilan system perlindungan katodik bangunan beton bertulang di lingkungan airlaut.
Percobaan yang dilakukan adalah dengan membuat sisi anoda dan sisi katoda pada sebuah wadah tersekat oleh beton (kekuatan tarik 20,40,60, 70 Mpa). Pada sisi anoda dibuat dengan mengisi salah satu sisi wadah dengan larutan NaCl (pH6), sedangkan sisi yang lain diisi oleh larutan NaOH (pH12) yang bertindak sebagai katoda Kemudian beton-beton ini dialiri arus dari 0.2 mA – 40 mA selama 2,7, dan 14 hari.
Data yang didapat dari percobaan menunjukan bahwa telah terjadi perubahan arus selama perlindungan berlangsung. Pada saat arus supplai yang digunakan 40 mA, dan kuat tekan 70 MPa, terjadi penurunan potensial dari – 24 mV sampai -7 mV. Dibandingkan dengan pemakaian arus 0.2 mA, potensial yang terjadi berkisar antara 0.2 – 0.1 mV (pada beton yang sama). Hal yang sama juga terjadi pada kuat tekan beton, 60, 40, 30, 20 MPa, semua menunjukan kecenderungan bahwa semakin besar arus yang digunakan, penurunan potensial juga semakin besar. Pada potensial 60 MPa, terjadi penurunan potensial sebesar 10 mV. Dan pada 30 MPa terjadi penurunan potensial sebesar 5 mV.
Dengan metoda (AAS) ditemukan bahwa telah terjadi mobilisasi ion dalam beton. Penggunaan arus yang besar (40 mA) mampu membawa ion Ca sebanyak 30 % selama 14 hari, Al 15%, dan Mg 5%. Sementara pengguaan arus 0.2 mA tidak menunjukan dampak yang berarti dalam merubah unsur kimia beton.

Cathodic protection is one of the most common methods to protect steel bar against corrosion in reinforced concrete (re-bar). Unfortunately, the uses of cathodic protection current still have uncertainty because it depend on time and rebar properties. Uncontrolled potential occurred (over protected) may result building up deposits on the steel surface which can stress the concrete, resulting concrete crack and weakening bonding strength. In the other word, current on cathodic protection cause chemical effects and physical effects. The research was aimed to study effects of current protection applied on concrete potential and bonding strength of the concrete.

This experiment required two different compressive strength of reinforce concretes (20 Mpa and 70MPa). To accelerate corrosion rate it was added 3.5 % NaCl into the concrete samples. The current used were 0.3 mA, 1.7mA, and 2 mA. These arrangements were maintained over a period of 2, 7, 14, 21 and 35 days to allow building up of deposits under electric field. Measurements conducted were potential difference between steel and concrete as a function of time and current at two types of concrete strength. During impressed current, the data indicated that concrete potential will decrease consistently. The bonding strength of concrete will also decrease depend on current supplied for 20 Mpa but not for 70 MPa concrete strength. Microscopic investigation showed that migration of ions in the concretes and calcareous deposits that has a role in decreasing those potential and bonding strength.